Kenapa Hoax Laku di Kalangan Terdidik? - Berita Heboh

Breaking

Post Top Ad

Minggu, 04 Maret 2018

Kenapa Hoax Laku di Kalangan Terdidik?


Waktu kemarin baca survey median masalah basis pemilih jokowi yang disebut dari kalangan berpendidikan rendah, sebagian orang bereaksi negatif terhadap itu. Sebaliknya, saya malah melihat itu sebagai hal yang logis. Kenapa?
Penangkapan anggota MCA kemarin sedikit banyak mengungkap penyebabnya. Pelakunya berasal dari kalangan terpelajar. Dengan profesi sebagai dosen, guru, karyawan. Lain tempat dan waktu, ada juga profesi lain semisal dokter, engineer, saintis, bisa menyebar hoax atau ujaran kebencian.
Saat ini media penyebar hoax/hasut memanfaatkan internet dan internet ini justru sangat mudah diakses oleh kalangan menengah atas. Kalangan yang otomatis punya akses ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Sebaliknya, di kalangan menengah bawah yang relatif lebih sulit menempuh pendidikan tinggi, internet masih merupakan barang “mewah”.
Karena itu jangan heran kalau yang mudah terpapar hoax justru kalangan terdidik. Dan menjadi logis kalau basis pemilih Prabowo mayoritas disurvey dari kalangan ini. Karena kebanyakan hoax memang isinya menyerang Jokowi dibanding Prabowo.
Hasil dr survey pun menguatkan hipotesa ini. Karena responden yang tidak memiliki medsos lebih banyak yang mendukung Jokowi. Sudah bukan rahasia kalo hoax memang menyebar melalui medsos dan pesan instan. Kasus Saracen dan MCA adalah bukti tak terbantahkan.
Tapi kenapa kok yg pintar-pintar malah kena hoax?
Karena yang diserang oleh hoax bukan sisi logikanya, tapi emosinya. Logika dan emosi ini relatif berkebalikan. Saat emosi mendominasi (saat senang, marah, sedih) maka saat itu sisi logika cenderung melemah. Itu kenapa di saat emosional, seringkali orang melakukan tindakan di luar nalar. Dan belakangan baru disesali setelah emosinya mereda.
Maka jangan heran berita hoax seringkali membawa narasi/perkataan yang membangkitkan emosi. Maka tidak aneh kalau topiknya seringkali terkait hal sensitif semisal SARA. Karena itu diperlukan untuk secara cepat membangkitkan emosi pembaca, sehingga sisi logikanya melemah.
Islam dilecehkan, komunisme bangkit, negara digadaikan, ulama dikriminalkan, adalah sederet topik yang dengan mudah membuat reaktif sebagian orang. Ini bukan kebetulan, tapi memang sudah terencana secara TSM. Terstruktur, sistematis, dan masif.
Jadi, yang berperan dalam menentukan mudah tidaknya orang terserang hoax itu bukan karena kecerdasan intelijensia, yang sering dihubungkan dengan tingkat pendidikan. Tapi lebih karena kecerdasan emosionalnya. Kecerdasan ini memang tidak tergantung bangku sekolah.
Menurut sebuah penelitian, ada 10 ciri orang yang mempunyai kecerdasan emosional rendah. Di antaranya, ada 3 hal yg terkait topik hoax, yaitu:
– Cepat membuat asumsi
– Menyalahkan orang lain
– Gampang tersinggung
Anda sering menemui ciri itu pada penebar hoax? Memang bukan kebetulan kalau cocok. Karena ini masalah bagaimana mengelola emosi.


Berasumsi bahwa beritanya pasti benar, sehingga malas kroscek (ciri no.1).
Diberitahu postingnya hoax, marah, menuduh anti Islam, benci ulama (ciri no.3).
Atau dengan entengnya mengelak, saya cuma ngeshare, dapat dr teman (ciri no.2)
Bahkan melihat presiden rehat, dianggapnya malas. Tapi anehnya melihat presiden kerja, disebut pencitraan. Selalu menyalahkan. Salawi.
Jadi, saat yang terdidik terpapar derasnya informasi yang dibuat provokatif, sehingga memancing emosi, lalu meyakini, dan ikut menebar hoax, kalangan menengah bawah yang tidak terpapar internet justru lebih mampu berpikir rasional karena selamat dari derasnya provokasi di medsos. Mereka hanya melihat kenyataan dengan logika sederhana saja.
“Kalau jokowi bukan Islam, buktinya dia naik haji.”
“Masa sih anti ulama, kan sering ke pesantren.”
“Anak saya masih bebas ngaji, Islam ditekan gimana ya?”
Ya, karena memang untuk terhindar dari hoax, yang diperlukan bukan “kepintaran”, tapi “kecerdasan”. Dan pilihan itu di tangan kita sendiri…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad